Kira-kira Bagaimana Penafsiran ‘Makanan’ dari Perspektif Kebudayaan ya?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makan adalah proses memasukkan makanan pokok ke dalam mulut serta mengunyah dan menelannya, sedangkan makanan menurut Depkes RI (2003), adalah semua bahan dalam bentuk olahan yang dimakan manusia kecuali air dan obat-obatan. Makanan tidak hanya sebagai pemenuh kebutuhan biologis semata, meski manusia sebagai makhluk biologis membutuhkan makanan untuk bertahan hidup. Makanan juga terkait dengan kebudayaan, mencakup teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat.

Makanan dalam Antropologi

Makanan dalam antropologi, memiliki makna yang lebih luas dari sekedar sumber nutrisi. Makanan juga bisa dikaitkan dengan kepercayaan, status, prestise, kesetiakawanan, dan ketentraman. Makanan memiliki banyak peranan dalam kehidupan sehari-hari suatu komunitas manusia. Makna ini selaras dengan nilai hidup, nilai karya, nilai ruang atau waktu, nilai relasi dengan alam sekitar, dan nilai relasi dengan sesama.

Menurut (Pelto&Pelto, 1983), makanan tidak hanya berfungsi untuk memelihara kesehatan, tetapi secara universal makanan juga merupakan subjek dari interpretasi simbolik dan ritual serta manipulasi politik dan ekonomi. Montanari (2006) juga menjelaskan bahwa makanan menjadi budaya ketika diproduksi, disiapkan, dan dimakan oleh manusia.

Makan dapat dilihat sebagai suatu bentuk tingkah laku berpola yang sangat terkait dengan kebudayaan. Kebiasaan makan merupakan relasi yang sangat kompleks karena menyangkut cara masak, suka atau tidak suka, boleh dan tidak boleh, kaitan dengan kepercayaan, dan mistis. Manurut Montanari (2006), makanan menjadi budaya ketika makanan itu diproduksi, disiapkan, dan dimakan oleh manusia.

Makanan sebagai Identitas

Dalam hubungan sosial, makanan berfungsi untuk keanggotaan kelompok. Makanan juga ada hubungannya dengan konstruksi bangsa, etnis, kelas, dan gender. Keanggotaan pada suatu etnik tertentu kerap didefinisikan dengan adanya warisan budaya, asal-usul, dan mitos keturunan, sistem nilai dan kepercayaan, arsitektur rumah, pakaian khas, termasuk juga makanan dan cara mengolahnya. Setiap masyarakat dan kebudayaan mendefinisikan apa yang layak dan tidak layak dimakan.karena kebiasaan, pilihan makanan bisa berbeda. Suatu makanan yang dimakan oleh suatu etnik belum tentu dianggap layak/bisa dimakan oleh kelompok etnik lain

Makanan sebagai pembentuk identitas etnis, dapat dikenali dari jenis masakannya yang memiliki karakteristik rasa yang khusus. Misalnya, masakan Minahasa ditandai dengan penggunaan cabai dalam jumlah yang banyak dalam mengolah daging. Begitu juga dengan masakan Minangkabau yang banyak menggunakan cabai, santan, dan bumbu rempah-rempah yang menjadikan makanannya khas sebagai makanan Minangkabau.

Makanan juga sebagai pembentuk identitas gender individual yang berkaitan dengan kelas dan gender. Goody (1982) menyebutkan bahwa hierarki kelas, kasta, ras, dan gender terbentuk melalui diferensiasi kontrol akses terhadap makanan. Pola-pola konsumsi yang berbeda merupakan salah satu dari banyak cara yang membedakan diri mereka dengan orang yang berbeda kelas dan juga membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Food and Memory

Makanan mampu menjadi media untuk mengingat atau mengenang suatu suasana atau peristiwa yang pernah dialami oleh manusia. Hal ini berdasarkan pada perhatian utama Sutton (2000, 2001) tentang bagaimana makanan menjadi media yang intens dalam menarik memori. Pertimbangan tersebut kemudian memunculkan jawaban dimana pengalaman makanan dapat membangkitkan ingatan, yang tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga emosional dan fisik. Makanan mampu memberikan ingatan untuk bernostalgia pada suasana atau peristiwa tertentu melalui rasa, aroma, tekstur, maupun bentuk yang dimiliki oleh makanan tersebut.

Identitas dan etnis juga dapat dipahami melalui ingatan terhadap makanan. Makanan mampu menunjukkan sebuah pandangan akan suatu sejarah yang dimiliki oleh makanan tersebut. Hal ini kemudian akan membuat suatu makanan menjadi suatu media untuk menunjukkan identitas dan etnis.

Sebagai bentuk memori, “Nostalgia” memiliki beberapa pengertian yang berbeda yang secara umum berhubungan dengan makanan. Beberapa literatur bergantung pada gagasan sentimentalis untuk masa lalu yang hilang, melihat makanan sebagai media untuk mengenang masa kecil dan keluarga.

Makanan juga dapat membangkitkan ingatan tentang gender. Christensen (2001) memandang dapur sebagai tempat penyimpanan memori, dimana dapur menggambarkan pengalaman ibunya. Dia menegaskan bahwa untuk ingatannya tentang cara-cara memasak yang ibunya ajarkan, memungkinkannya menjadi seorang putri lagi, untuk memasuki kembali dunia perempuan masa kecilnya.

Hal menarik lainnya dalam hubungan makanan dan ingatan adalah, bahwa selain untuk bernostalgia, makanan juga bisa menjadi sarana untuk melupakan. Singer (1984) menunjukkan bagaimana dalam sebuah sekte Hindu, makanan digunakan sebagai media untuk melupakan, berkreasi identitas baru melalui penghapusan sedimen lain secara sengaja.

Food and Sense

Indera atau sense merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Levi-Strauss mengungkapkan bahwa, indra merupakan operator yang berfungsi untuk menyampaikan karakter isomorfik dari semua sistem yang terhubung dengan indra untuk menghasilkan sebuah ekspresi. Manusia memiliki lima indera yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, pencium, dan pengecap. Indera memiliki fungsi yang sangat penting dalam makanan. Indera dapat membantu individu untuk melihat dan mengekspresikan apa yang ia lihat, membedakan setiap rasa melalui indera pengecap, memahami perbedaan aroma melalui indera penciuman, dan mengenali tekstur makanan melalui indera peraba.

Indera membantu manusia untuk memilih makanan yang akan dipilih dan menentukan layak tidaknya suatu makanan dimakan. Dalam makanan, indera yang paling digunakan adalah indera pencium dan pengecap. Dengan indera, individu dapat membedakan, memberi nama, dan mengkategorikan makanan. Selain itu, indera juga dapat membantu individu memberikan pandangan atau perbedaan terhadap asal dan latar belakang budaya yang ada di pada makanan.

Rasa pada makanan juga terkadang dihubungkan dengan realita berupa pengalaman yang dirasakan langsung oleh individu. Misalnya rasa manis dihubungkan dengan kebahagiaan atau rasa pahit yang dihubungkan dengan rasa sakit.

Jadi pada dasarnya, hubungan antara indera dan makanan memberikan kemudahan bagi individu untuk mengkategorikan makanan, melihat identitas dan latar belakang budaya dari suatu makanan, dan menentukan makanan apa yang akan dipilih atau yang layak untuk dimakan.

Referensi:

Berg, Alan & Robert J. Muscat (1985). Faktor Gizi. (terjemahan oleh Achmad Djaeni Sediaoetama). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.

Bryant, et al. (1985). An Introduction to Food and Society : The Cultural Feast. WestPublishing Co, USA.

Holtzman, J. D. (2006). Food and memory. Annual Review of Anthropology, 35, 361–378. https://doi.org/10.1146/annurev.anthro.35.081705.123220

Nurti, Y. (2017). Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi. Jurnal Antropologi, 19(1), 1-10.

Sanjaya, H. (2021). Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi. 10.31219/osf.io/g24qp.

Sutton, D. E. (2010). Food and the senses. Annual Review of Anthropology, 39, 209–223. https://doi.org/10.1146/annurev.anthro.012809.104957

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai